Uraian Kasus yang Dikawal oleh Advokestra BEM FH-UH
Berawal dari adanya kerjasama dengan Disability Person Organisation (DPO) atau Koalisi Organisasi Disabilitas Sul-Sel diantaranya Persatuan Penyadang Disabilitas Indonesia (PPDI) Sul-Sel sebagai kordinator yang anggotanya adalah Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni), Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) dan Perhimpunan Mantan Penderita Kusta (PERMATA). Koalisi ini disebut Meet Level Coalition yang menyelenggarakan sosialisasi Peraturan Daerah (Perda) disabilitas kota Makassar No.6/2013 pada bulan September 2014. Pada waktu itu yang mendapat giliran untuk menyelenggarakan sosialisasi tersebut adalah Dewan Pengurus Persatuan Indonesia(DPD Pertuni Sul-Sel).
Ketika itu kordinator koalisi PPDI tersebut mentrasfer dana ke rekening DPD Pertuni Sul-Sel RP Rp 30.000.000,-. Setelah proses transfer yang dilakukan oleh PPDI, Arifin selaku ketua Pertuni Sul-Sel mengecek jumlah saldo di Bank Sul-Sel. Namun, saldo yang ada dalam rekening tersebut adalah berjumlah Rp 500.000,- saja. Ketika mengetahui jumlah saldo tersebut, Arifin langsung mengkonfirmasi ke bendahara yang benama Baharrahman. Bendaharapun terkejut mendengar sisa saldo tersebut. Kemudian Bendahara langsung mengkroscek ke staff yang bernama Hasniati. Tetapi staf tersebut tidak memberikan jawaban, bahkan dia menghingdar.
Seminggu kemudian barulah Hasniati mengakui bahwa dia telah menggelapkan dana Rp 25.000.000,-, namun jumlah pengakuan yang disampaikan oleh Hasniati tidak langsung dipercayai oleh Arifin, Anton dan Fandi sebagai pengurus DPD PERTUNI Sul-Sel. Pada waktu itu dan Arifin selaku ketua langsung meminta bantuan kepada saudara Hasrul sebagai direktur Usaha Dana Bergulir (UDB) untuk melakukan audit dari tahun 2012 sampai 2014. Hasil audit yang ditemukan ternyata kurang lebih Rp. 76.000.000,-. Kemudian hasil audit tersebut disampaikan ke Hasniati dan setelah hasil audit tersebut dikonfirmasi kepada saudari Hasniati. Diapun mengakui hasil audit tersebut. Setelah itu pengurus memanggil dia untuk menyelesaikan kasus ini secara kekeluargaan dengan membuat perjanjian tertulis untuk pembayaran atau ganti rugi atas penggelapan tersebut. Namun, seiring berjalannya waktu perjanjian tersebut tidak ditepati, justru sikap Hasniati tidak mempunyai itikad baik untuk menyelesaikan kasus tersebut dan bahkan pindah rumah tanpa memberitahu alamatnya.
Kemudian pada bulan November 2014, Arifin sebagai ketua melayangkan surat pemanggilan kepada orang tuanya dengan maksud masih tetap ingin menyelesaikan kasus ini secara kekeluargaan namun mereka tidak percaya anaknya melakukan penggelapan justru mereka melindungi dia dengan tidak menyampaikan alamat Hasniati yang baru. Bahkan orangtuanya menuding pengurus Pertuni telah melakukan persekongkolan untuk menjebak anaknya. Kemudian Arifin berinisiatif untuk melaporkan kasus ini ke polisi pada bulan Januari 2015 namun hingga saat ini kasus tersebut belum ada perkembangan dan tidak ditinjaklanjuti oleh pihak yang berwenang.
Ketika itu kordinator koalisi PPDI tersebut mentrasfer dana ke rekening DPD Pertuni Sul-Sel RP Rp 30.000.000,-. Setelah proses transfer yang dilakukan oleh PPDI, Arifin selaku ketua Pertuni Sul-Sel mengecek jumlah saldo di Bank Sul-Sel. Namun, saldo yang ada dalam rekening tersebut adalah berjumlah Rp 500.000,- saja. Ketika mengetahui jumlah saldo tersebut, Arifin langsung mengkonfirmasi ke bendahara yang benama Baharrahman. Bendaharapun terkejut mendengar sisa saldo tersebut. Kemudian Bendahara langsung mengkroscek ke staff yang bernama Hasniati. Tetapi staf tersebut tidak memberikan jawaban, bahkan dia menghingdar.
Seminggu kemudian barulah Hasniati mengakui bahwa dia telah menggelapkan dana Rp 25.000.000,-, namun jumlah pengakuan yang disampaikan oleh Hasniati tidak langsung dipercayai oleh Arifin, Anton dan Fandi sebagai pengurus DPD PERTUNI Sul-Sel. Pada waktu itu dan Arifin selaku ketua langsung meminta bantuan kepada saudara Hasrul sebagai direktur Usaha Dana Bergulir (UDB) untuk melakukan audit dari tahun 2012 sampai 2014. Hasil audit yang ditemukan ternyata kurang lebih Rp. 76.000.000,-. Kemudian hasil audit tersebut disampaikan ke Hasniati dan setelah hasil audit tersebut dikonfirmasi kepada saudari Hasniati. Diapun mengakui hasil audit tersebut. Setelah itu pengurus memanggil dia untuk menyelesaikan kasus ini secara kekeluargaan dengan membuat perjanjian tertulis untuk pembayaran atau ganti rugi atas penggelapan tersebut. Namun, seiring berjalannya waktu perjanjian tersebut tidak ditepati, justru sikap Hasniati tidak mempunyai itikad baik untuk menyelesaikan kasus tersebut dan bahkan pindah rumah tanpa memberitahu alamatnya.
Kemudian pada bulan November 2014, Arifin sebagai ketua melayangkan surat pemanggilan kepada orang tuanya dengan maksud masih tetap ingin menyelesaikan kasus ini secara kekeluargaan namun mereka tidak percaya anaknya melakukan penggelapan justru mereka melindungi dia dengan tidak menyampaikan alamat Hasniati yang baru. Bahkan orangtuanya menuding pengurus Pertuni telah melakukan persekongkolan untuk menjebak anaknya. Kemudian Arifin berinisiatif untuk melaporkan kasus ini ke polisi pada bulan Januari 2015 namun hingga saat ini kasus tersebut belum ada perkembangan dan tidak ditinjaklanjuti oleh pihak yang berwenang.