KY: Eksistensi & Urgensi Di Balik Kehadirannya
Oleh : Abrar
Komisi Yudisial atau akrab kita kenal
dengan istilah KY, adalah lembaga negara yang turut hadir pada saat era
reformasi menyapa republik ini. Secara historis, kehadiran lembaga ini
merupakan wujud daripada kecemasan terhadap berulangnya pola kekuasaan yang
sama pada saat rezim orde baru masih berkuasa. Sifat kekuasaan yang
sentralistik dan cenderung otoriter turut menyentuh pada bidang peradilan yang
diharapkan independen. Fenomena intervensi kekuasaan pada masa orde baru,
khususnya di bidang kekuasaan kehakiman terlihat jelas dari metode pengangkatan
hakim agung. Hal ini terlihat dalam proses serta seleksi hakim agung merupakan
wewenang mutlak daripada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden, dapat
dibayangkan bagaimana posisi dan kemampuan hakim pada saat itu yang amat rentan
dengan tekanan serta intervensi politik. Seiring dengan adanya perubahan rezim pada tahun 1998, maka sistem kekuasaan di republik ini pun segera disulap agar berganti wajah. Dominasi eksekutif yang amat kuat mulai secara proporsional dibagi ke bidang kekuasaan lain menurut system distribution of power serta merujuk pada prinsip check and balances. Wajah dunia peradilan juga dituntut untuk segera diadakan reformasi pula. Kekuasaan kehakiman diharapkan menjadi suatu kekuasaan yang merdeka serta memiliki independensi penuh dalam memenuhi tugas dalam mewujudkan supremasi hukum yang dianut oleh bangsa ini.
Pada tahapan munculnya lembaga ini, kesadaran untuk menciptakan dunia peradilan yang bersih mencuat suatu wacana untuk menghadirkan sebuah lembaga yang memiliki wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap hakim. Hal ini dilakukan agar marwah serta kehormatan hakim tetap dapat terjaga. Amandemen Undang-Undang Dasar ke-3 tahun 2001 akhirnya mendeklarasikan sebuah lembaga baru yang berwenang untuk itu. Komisi Yudisial diberikan tempat dalam UUD 1945 sebagai lembaga negara yang berwenang untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung serta melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim. Hal ini tercantum dalam pasal 24 C UUD 1945.
Namun secara de facto, pada tanggal 2 agustus 2005 komisi ini benar-benar lahir dengan memenuhi formatur komisioner yaitu dua orang mantan hakim, dua orang praktisi hukum, dua orang akademisi, dan satu orang yang diangkat oleh presiden. Lembaga ini secara sah menjadi sebuah lembaga negara dengan fungsi serta wewenag yang telah diatur dalam Undang-Undang yang ada.
Terkait fungsinya dalam mengusulkan calon hakim agung, ketentuan UU No. 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial menambahkan fungsi baru terhadap lembaga ini yaitu turut serta dalam proses seleksi calon hakim agung. Selain itu, pengawasan terhadap perilaku hakim secara limitatif hanya yang terkait dengan kode etik hakim. Domain KY tidak menyentuh pada aspek yudisial, yaitu mengomentari putusan yang telah dikeluarkan oleh hakim.
Akhirnya, dengan segala fungsi serta wewenang yang dimilikinya, KY diharapkan mampu menjadi suatu lembaga yang dapat mebantu untuk menciptakan suatu wajah dunia peradilan yang bersih dan juga berwibawa.
Pada tahapan munculnya lembaga ini, kesadaran untuk menciptakan dunia peradilan yang bersih mencuat suatu wacana untuk menghadirkan sebuah lembaga yang memiliki wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap hakim. Hal ini dilakukan agar marwah serta kehormatan hakim tetap dapat terjaga. Amandemen Undang-Undang Dasar ke-3 tahun 2001 akhirnya mendeklarasikan sebuah lembaga baru yang berwenang untuk itu. Komisi Yudisial diberikan tempat dalam UUD 1945 sebagai lembaga negara yang berwenang untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung serta melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim. Hal ini tercantum dalam pasal 24 C UUD 1945.
Namun secara de facto, pada tanggal 2 agustus 2005 komisi ini benar-benar lahir dengan memenuhi formatur komisioner yaitu dua orang mantan hakim, dua orang praktisi hukum, dua orang akademisi, dan satu orang yang diangkat oleh presiden. Lembaga ini secara sah menjadi sebuah lembaga negara dengan fungsi serta wewenag yang telah diatur dalam Undang-Undang yang ada.
Terkait fungsinya dalam mengusulkan calon hakim agung, ketentuan UU No. 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial menambahkan fungsi baru terhadap lembaga ini yaitu turut serta dalam proses seleksi calon hakim agung. Selain itu, pengawasan terhadap perilaku hakim secara limitatif hanya yang terkait dengan kode etik hakim. Domain KY tidak menyentuh pada aspek yudisial, yaitu mengomentari putusan yang telah dikeluarkan oleh hakim.
Akhirnya, dengan segala fungsi serta wewenang yang dimilikinya, KY diharapkan mampu menjadi suatu lembaga yang dapat mebantu untuk menciptakan suatu wajah dunia peradilan yang bersih dan juga berwibawa.
JUDICIAL REVIEW
Oleh : Sri Wahyuni
Pengujian Undang-Undang atau lebih dikenal dengan istilah Judicial Review, telah dikenal sejak lama terutama di Amerika Serikat. Istilah ini mencuat untuk menguji keabsahan peraturan perundang-undangan yang telah berlaku. Prof. Jimly Asshiddiqie di dalam bukunya berpendapat, Judicial Review pada esensinya terbagi atas 2 sifat pokok, yaitu sebagai bentuk pengujian legalitas serta sebagai bentuk pengujian konstitusional. Pengujian legalitas dalam hal ini dimaksudkan untuk menguji keabsahan serta legalitas peraturan yang berlaku, dalam hal ini yaitu peraturan perundang-undangan maupun aturan-aturan lain yang berada di bawahnya, sedangkan bentuk pengujian konstitusional terkait erat dengan sinkronisasi muatan peraturan perundang-undangan dengan norma-norma yang terkandung di dalam konstitusi.
Bentuk pengujian yang dipakai dalam Judicial Review ini pun pada pokoknya terbagi pada dua aspek, yaitu bentuk pengujian secara formil, yaitu yang terkait dengan prosedur pembuatan UU, dan bentuk pengujian secara materiil, yang berhubungan dengan kesesuaian materi UU dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar. Perbedaan pada metode pengujian ini pada akhirnya juga memiliki akibat hukum yang berbeda pula. Dalam kasus pengujian secara formil, UU yang dinyatakan telah dibuat tanpa melalui mekanisme prosedur pembuatan UU dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum atau dengan istilah lain dikenal pula dengan nomenklatur cacat hukum. Sedangkan di sisi lain dalam metode pengujian materiil maka bagian tertentu yang dinyatakan bertentangan dengan UUD maka dapat dihapuskan. Jika secara umum UU dinilai bertentangan dengan regulasi yang ada maka hakim dapat memutuskan untuk mecabut keberlakuan dari peraturan perundang-undangan tersebut.
Di Indonesia sendiri, sesuai yang tercantum dalam Pasal 24 UUD, lembaga negara yang berwenang dalam melakukan Judicial Review ialah Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam kewenangannya melakukan Judicial Review, MA berwenang untuk melakukan pengujian peraturan yang berlaku terhadap UU sedangkan MK berwenang menguji UU terhadap UUD. Kewenangan yang melekat padanya sesuai dengan teori Jimly, MA berfungsi untuk melakukan pengujian yang bersifat legalitas sedangkan MK berfungsi untuk melakukan pengujian secara konstitusional. Dalam hal pihak yang merasa dirugikan atas peraturan perundangn yang berlaku maka pihak tersebut dapat melakukan permohonan Judicial Review atas ketentuan perundangan yang berlaku tersebut.
Bentuk pengujian yang dipakai dalam Judicial Review ini pun pada pokoknya terbagi pada dua aspek, yaitu bentuk pengujian secara formil, yaitu yang terkait dengan prosedur pembuatan UU, dan bentuk pengujian secara materiil, yang berhubungan dengan kesesuaian materi UU dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar. Perbedaan pada metode pengujian ini pada akhirnya juga memiliki akibat hukum yang berbeda pula. Dalam kasus pengujian secara formil, UU yang dinyatakan telah dibuat tanpa melalui mekanisme prosedur pembuatan UU dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum atau dengan istilah lain dikenal pula dengan nomenklatur cacat hukum. Sedangkan di sisi lain dalam metode pengujian materiil maka bagian tertentu yang dinyatakan bertentangan dengan UUD maka dapat dihapuskan. Jika secara umum UU dinilai bertentangan dengan regulasi yang ada maka hakim dapat memutuskan untuk mecabut keberlakuan dari peraturan perundang-undangan tersebut.
Di Indonesia sendiri, sesuai yang tercantum dalam Pasal 24 UUD, lembaga negara yang berwenang dalam melakukan Judicial Review ialah Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam kewenangannya melakukan Judicial Review, MA berwenang untuk melakukan pengujian peraturan yang berlaku terhadap UU sedangkan MK berwenang menguji UU terhadap UUD. Kewenangan yang melekat padanya sesuai dengan teori Jimly, MA berfungsi untuk melakukan pengujian yang bersifat legalitas sedangkan MK berfungsi untuk melakukan pengujian secara konstitusional. Dalam hal pihak yang merasa dirugikan atas peraturan perundangn yang berlaku maka pihak tersebut dapat melakukan permohonan Judicial Review atas ketentuan perundangan yang berlaku tersebut.