Oleh : Sri Wahyuni S
Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tetang Desa yang telah disahkan pada tanggal 15 Januari 2015 memiliki tujuan yang seyogyanya dapat menjadi sebuah solusi terhadap permasalahan bangsa saat ini. Adapun tujuan yang dimaksud yaitu antara lain memajukan perekonomian masyarakat di pedesaan, mengatasi kesenjangan pembangunan kota dan desa, memperkuat peran penduduk desa dalam pembangunan serta meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat desa. Berdasarkan tujuan tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan pembentukan UU Desa yang baru ini adalah ”Membangun Bangsa dari Desa”. Tapi sayangnya, antara teori dan praktik sangat jauh berbeda. Antara Das Sollen dengan Das Sein selalu saja ada gap yang secara otomatis menjadi sebuah permasalahan. Secara teoritis, tujuan dari pembentukan UU desa ini sudah sangat ideal, namun secara praktis atau pelaksanaan teknis, UU ini justru sangat berpotensi menimbulkan masalah baru.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di salah satu desa percontohan yaitu Desa Bondosari, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur bersama dengan teman-teman delegasi Persatuan Indonesia (Perisai) dari BEM Fakultas Hukum seluruh universitas di Indonesia, yang dilaksanakan oleh Forum Mahasiswa Peduli Keadilan (Formah PK) Fakultas Hukum Brawijaya pada tanggal 10 Oktober 2015, dari segi kesiapan perangkat desa merasa belum siap untuk melaksanakan amanat dari UU terseut.[1] Hal ini disampaikan langsung oleh salah satu perangkat desa yang ada di lokasi penelitian. Alasan ketidak siapan tersebut salah satunya karena tingkat pendidikan yang masih rendah. Selain itu, ada beberapa hal yang harus dikaji ulang dalam UU desa ini, apakah hal tersebut benar-benar akan menjadi solusi atau hanya akan menjadi polusi bagi hukum yang ada di Indonesia.
Pertama, terkait alokasi dana desa. Ikatakan bahwa setiap desa akan mendapatkan dana alokasi dari APBN paling sedikit 10% setiap tahunnya. Maka dapat diperkirakan bahwa setiap desa akan mendapatkan dana sebesar 1,2 – 1,4 milyar setiap tahun. Dengan total dana sebanyak itu, tidak menutup kemungkinan akan muncul tikus-tikus desa yang siap melahap habis uang-uang rakyat yang seharusnya untuk pembangunan demi mencapai kesejahteraan rakyat. Hal ini justru menjadi sangat ironis, disisi lain pemeritah sedang gencar-gencarnya memberantas korupsi. Akan tetapi UU desa ini justru menjadi pupuk untuk menumbuh kembangkan korupsi di Indonesia. Jadi tujuan awal UU desa ini adalah “Membangun bangsa dari desa” justru berubah menjadi “Menumbuhkembangkan koruptor dari Desa” hal inilah yang hars dikaji ulang oleh pemerintah.
Kedua, terkait masa jabatan kepala desa. Pada pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU Desa menyatakan bahwa masa jabatan kepala desa selama 6 tahun dan dapat menjabat kembali selama 3 periode baik seccara berturut-turut maupun tidak, dengan masa jabatan selama ini sangat dimungkinkan adanya penyalahgunaan jabatan. Hal ini dikarenakan jabatan kepala desa setelah berlakunya UU desa ini menjadi sangat strategis, apalagi kualifikasi pendidikan cukup dengan ijazah SMP. Selain itu, dengan masa jabatan yang lama akan membuka peluang munculnya raja-raja kecil di desa. Berdasarkan hal tersebut, tujuan pembentukan UU desa kembali melenceng menjadi “Memunculkan Raja-Raja Kecil dari Desa” atau “Mengembalikan Sistem Monarki dari Desa”
Beberapa hal tersebutlah yang kemudian memunculkan pertanyaan yang sampai saat ini belum bisa terjawab yaitu:
APAKAH UU DESA YANG BARU ADALAH SEBUAH SOLUSI ATAU HANYA SEKEDAR POLUSI???
[1] Ahmad Khoiri, Perangkat Desa Bondosari, Kec. Pujon, Kab. Malang, Jawa Timur, wawancara dilaksanakan pada tanggal 10 Oktober 2015
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di salah satu desa percontohan yaitu Desa Bondosari, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur bersama dengan teman-teman delegasi Persatuan Indonesia (Perisai) dari BEM Fakultas Hukum seluruh universitas di Indonesia, yang dilaksanakan oleh Forum Mahasiswa Peduli Keadilan (Formah PK) Fakultas Hukum Brawijaya pada tanggal 10 Oktober 2015, dari segi kesiapan perangkat desa merasa belum siap untuk melaksanakan amanat dari UU terseut.[1] Hal ini disampaikan langsung oleh salah satu perangkat desa yang ada di lokasi penelitian. Alasan ketidak siapan tersebut salah satunya karena tingkat pendidikan yang masih rendah. Selain itu, ada beberapa hal yang harus dikaji ulang dalam UU desa ini, apakah hal tersebut benar-benar akan menjadi solusi atau hanya akan menjadi polusi bagi hukum yang ada di Indonesia.
Pertama, terkait alokasi dana desa. Ikatakan bahwa setiap desa akan mendapatkan dana alokasi dari APBN paling sedikit 10% setiap tahunnya. Maka dapat diperkirakan bahwa setiap desa akan mendapatkan dana sebesar 1,2 – 1,4 milyar setiap tahun. Dengan total dana sebanyak itu, tidak menutup kemungkinan akan muncul tikus-tikus desa yang siap melahap habis uang-uang rakyat yang seharusnya untuk pembangunan demi mencapai kesejahteraan rakyat. Hal ini justru menjadi sangat ironis, disisi lain pemeritah sedang gencar-gencarnya memberantas korupsi. Akan tetapi UU desa ini justru menjadi pupuk untuk menumbuh kembangkan korupsi di Indonesia. Jadi tujuan awal UU desa ini adalah “Membangun bangsa dari desa” justru berubah menjadi “Menumbuhkembangkan koruptor dari Desa” hal inilah yang hars dikaji ulang oleh pemerintah.
Kedua, terkait masa jabatan kepala desa. Pada pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU Desa menyatakan bahwa masa jabatan kepala desa selama 6 tahun dan dapat menjabat kembali selama 3 periode baik seccara berturut-turut maupun tidak, dengan masa jabatan selama ini sangat dimungkinkan adanya penyalahgunaan jabatan. Hal ini dikarenakan jabatan kepala desa setelah berlakunya UU desa ini menjadi sangat strategis, apalagi kualifikasi pendidikan cukup dengan ijazah SMP. Selain itu, dengan masa jabatan yang lama akan membuka peluang munculnya raja-raja kecil di desa. Berdasarkan hal tersebut, tujuan pembentukan UU desa kembali melenceng menjadi “Memunculkan Raja-Raja Kecil dari Desa” atau “Mengembalikan Sistem Monarki dari Desa”
Beberapa hal tersebutlah yang kemudian memunculkan pertanyaan yang sampai saat ini belum bisa terjawab yaitu:
APAKAH UU DESA YANG BARU ADALAH SEBUAH SOLUSI ATAU HANYA SEKEDAR POLUSI???
[1] Ahmad Khoiri, Perangkat Desa Bondosari, Kec. Pujon, Kab. Malang, Jawa Timur, wawancara dilaksanakan pada tanggal 10 Oktober 2015