Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang secara hukum dan konstitusional bertanggungjawab dan berwenang untuk menjaga dan memulihkan kewibawaan dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan. Konstitusi Pasal 24B UUD 1945 mengamanatkan bahwa: “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang peranan penting dalam upaya mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pencalonan berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.”
Kewenangan Komisi Yudisial untuk melaksanakan fungsi pengawasan sebagaimana dikemukakan di atas merupakan upaya untuk mengatasi berbagai bentuk penyalahgunaan wewenang di lembaga peradilan yang dimulai dengan mengawasi perilaku hakim, agar para hakim menunjung tinggi kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Secara historis, tujuan Pembentukan Komisi Yudisial Tahun 1998 dilandasi oleh semangat reformasi disegala bidang diantaranya reformasi hukum. Pada masa reformasi tersebut muncul ide untuk penyatuan atap bagi hakim yang tentunya memerlukan pengawasan eksternal dari lembaga yang mandiri dan independen agar cita-cita untuk mewujudkan peradilan yang jujur, bersih, transparan dan profesional dapat tercapai. Seiring dengan tuntutan reformasi peradilan, pada Sidang Tahunan MPR tahun 2001 yang membahas amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945, disepakati beberapa amandemen dan penambahan pasal yang berkenaan dengan kekuasaan kehakiman, termasuk munculnya Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Bersamaan dengan amandemen UUD 1945 sebagai genealogis kemunculan Komisi Yudisial yang merupakan lembaga negara yang dilahirkan dari reformasi di Indonesia, Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang sama posisinya dengan lembaga negara lain. Sebagai lembaga negara, Komisi Yudisial mendapatkan tugas dan kewenangannya dalam UUD 1945 dan dituangkan lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang disahkan di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 2004. Latar belakang pembentukan Komisi Yudisial merupakan bagian penting dari komitmen bangsa untuk dilakukannya reformasi multi dimensional dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya dan hukum, serta, keprihatinan yang mendalam atas praktek peradilan yang tidak mencerminkan moralitas keadilan.
Komisi Yudisial memang mempunyai peranan penting dalam upaya mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pencalonan hakim agung serta pengawasan terhadap hakim yang transparan dan partisipatif guna menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Pengawasan oleh Komisi Yudisial ini pada prinsipnya bertujuan agar hakim agung dan hakim dalam menjalankan wewenang dan tugasnya sungguh-sungguh didasarkan dan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku, kebenaran, dan rasa keadilan masyarakat serta menjunjung tinggi kode etik profesi hakim. Komisi Yudisial melakukan langkah-langkah pembaharuan yang berorientasi kepada terciptanya lembaga peradilan yang sungguh-sungguh bersih dan berwibawa guna menjamin masyarakat dan para pencari keadilan memperoleh keadilan dan diperlakukan secara adil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial mencakup pengawasan preventif sampai dengan pengawasan yang bersifat represif dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Dengan eksistensi dan fungsi yang demikian itu, Komisi Yudisial memegang peranan penting dan strategis dalam upaya mewujudkan lembaga peradilan yang bersih dan berwibawa, sekaligus mereformasi lembaga peradilan dan mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri, tidak berpihak (netral), kompeten, transparan, menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kebenaran, serta berwibawa, yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian hukum dan keadilan.
Langkah Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) mengajukan judicial review sejak tanggal 27 Maret 2015 yang pokok permohonannya menggugat kewenangan KY dalam menyeleksi hakim sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 14A ayat (2), (3) UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2), (3) UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dan Pasal 14A ayat (2), (3) UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) merupakan sebuah langkah destruktif yang berupaya menghhalangi komisi yudisial utnuk mewujudkan peradilan yang bersih dan bermartabat.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa domain pengawasan KY terhadap hakim mencakup pengasawasan preventif yang dilaksanakan pada tahapan seleksi calon hakim untuk menjaring calon-calon hakim yang bersih, kredibel, dan berintegritas. Tanpa pengawasan dari hakim yang mandiri dan independen, maka seleksi hakim sangat rawan penyimpangan dan sarat nuansa politis.
Alasan IKAHI yang mengatakan bahwa kewenangan KY dalam pasal 24B UUD 1945 bersifat limitatif hanya berwenang menyeleksi hakim agung adalah keliru, karena pada pasal tersebut disebutkan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Ketentuan tersebut memberikan kewenangan yang luas kepada KY untuk mrnjalan fungsinya demi mewujudkan peradilan yang bersih, transparan, dan bermartabat.
Selain itu penetapan tersangka dua komisoner KY beberap waktu oleh bareskrim Polri berdasarkan laporan hakim kontroversial Sarpin Rizaldi, merupakan bentuk pelemahan terhadap eksistensi KY dan patut dicurigai adanya kongkalikong Polri dan Sarpin, sebagaimana diketahui bahwa Sarpin adalah hakim tunggal yang mengabulkan permohonan praperadilan bos besar Polri Budi Gunawan yang menerobos peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kewenangan Komisi Yudisial untuk melaksanakan fungsi pengawasan sebagaimana dikemukakan di atas merupakan upaya untuk mengatasi berbagai bentuk penyalahgunaan wewenang di lembaga peradilan yang dimulai dengan mengawasi perilaku hakim, agar para hakim menunjung tinggi kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Secara historis, tujuan Pembentukan Komisi Yudisial Tahun 1998 dilandasi oleh semangat reformasi disegala bidang diantaranya reformasi hukum. Pada masa reformasi tersebut muncul ide untuk penyatuan atap bagi hakim yang tentunya memerlukan pengawasan eksternal dari lembaga yang mandiri dan independen agar cita-cita untuk mewujudkan peradilan yang jujur, bersih, transparan dan profesional dapat tercapai. Seiring dengan tuntutan reformasi peradilan, pada Sidang Tahunan MPR tahun 2001 yang membahas amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945, disepakati beberapa amandemen dan penambahan pasal yang berkenaan dengan kekuasaan kehakiman, termasuk munculnya Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Bersamaan dengan amandemen UUD 1945 sebagai genealogis kemunculan Komisi Yudisial yang merupakan lembaga negara yang dilahirkan dari reformasi di Indonesia, Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang sama posisinya dengan lembaga negara lain. Sebagai lembaga negara, Komisi Yudisial mendapatkan tugas dan kewenangannya dalam UUD 1945 dan dituangkan lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang disahkan di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 2004. Latar belakang pembentukan Komisi Yudisial merupakan bagian penting dari komitmen bangsa untuk dilakukannya reformasi multi dimensional dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya dan hukum, serta, keprihatinan yang mendalam atas praktek peradilan yang tidak mencerminkan moralitas keadilan.
Komisi Yudisial memang mempunyai peranan penting dalam upaya mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pencalonan hakim agung serta pengawasan terhadap hakim yang transparan dan partisipatif guna menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Pengawasan oleh Komisi Yudisial ini pada prinsipnya bertujuan agar hakim agung dan hakim dalam menjalankan wewenang dan tugasnya sungguh-sungguh didasarkan dan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku, kebenaran, dan rasa keadilan masyarakat serta menjunjung tinggi kode etik profesi hakim. Komisi Yudisial melakukan langkah-langkah pembaharuan yang berorientasi kepada terciptanya lembaga peradilan yang sungguh-sungguh bersih dan berwibawa guna menjamin masyarakat dan para pencari keadilan memperoleh keadilan dan diperlakukan secara adil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial mencakup pengawasan preventif sampai dengan pengawasan yang bersifat represif dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Dengan eksistensi dan fungsi yang demikian itu, Komisi Yudisial memegang peranan penting dan strategis dalam upaya mewujudkan lembaga peradilan yang bersih dan berwibawa, sekaligus mereformasi lembaga peradilan dan mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri, tidak berpihak (netral), kompeten, transparan, menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kebenaran, serta berwibawa, yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian hukum dan keadilan.
Langkah Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) mengajukan judicial review sejak tanggal 27 Maret 2015 yang pokok permohonannya menggugat kewenangan KY dalam menyeleksi hakim sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 14A ayat (2), (3) UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2), (3) UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dan Pasal 14A ayat (2), (3) UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) merupakan sebuah langkah destruktif yang berupaya menghhalangi komisi yudisial utnuk mewujudkan peradilan yang bersih dan bermartabat.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa domain pengawasan KY terhadap hakim mencakup pengasawasan preventif yang dilaksanakan pada tahapan seleksi calon hakim untuk menjaring calon-calon hakim yang bersih, kredibel, dan berintegritas. Tanpa pengawasan dari hakim yang mandiri dan independen, maka seleksi hakim sangat rawan penyimpangan dan sarat nuansa politis.
Alasan IKAHI yang mengatakan bahwa kewenangan KY dalam pasal 24B UUD 1945 bersifat limitatif hanya berwenang menyeleksi hakim agung adalah keliru, karena pada pasal tersebut disebutkan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Ketentuan tersebut memberikan kewenangan yang luas kepada KY untuk mrnjalan fungsinya demi mewujudkan peradilan yang bersih, transparan, dan bermartabat.
Selain itu penetapan tersangka dua komisoner KY beberap waktu oleh bareskrim Polri berdasarkan laporan hakim kontroversial Sarpin Rizaldi, merupakan bentuk pelemahan terhadap eksistensi KY dan patut dicurigai adanya kongkalikong Polri dan Sarpin, sebagaimana diketahui bahwa Sarpin adalah hakim tunggal yang mengabulkan permohonan praperadilan bos besar Polri Budi Gunawan yang menerobos peraturan perundang-undangan yang berlaku.